Jika naik kendaraan dari Medan, sepanjang 153 kilometer menuju tanah Dairi dan Pakpak Bharat, Anda akan menikmati jalan turun-naik, melintasi indahnya pemandangan Tanah Karo, menikmati birunya Danau Toba dan genitnya bibir danau di tepian Silalahi, serta awan tipis yang menyelimuti hijaunya anak-anak gunung yang bertumpukan di kiri jalan.
Umpamakan perjalanan Anda menuju tanah Dairi dan Pakpak Bharat itu untuk menghadiri jamuan makan, maka apa yang tersaji di perjalanan tadi adalah santapan selamat datang. Seterusnya, di tanah Dairi dan Pakpak Bharat, Anda akan disajikan berbagai ragam santapan utama. Salah satu pilihannya adalah musik. Seperti juga di tanah Batak lainnya, musik-musik tradisional yang akan ditemui bisa dipastikan tidak banyak berbeda. Namun, kalau masuk lebih jauh lagi, Anda akan tercengang dan dijamin menggeleng-gelengkan kepala, karena kagum pada apa yang Anda dengar dan saksikan.
Ada dua jenis nyanyian orang Pakpak yang tidak lazim terdengar. Disebut tidak lazim, karena kedua nyanyian itu hanya dikumandangkan di tempat yang sangat khusus. Dua-duanya dinyanyikan di tempat yang sunyi. Yang pertama disebut tangis milangi (tangis menghitung), dinyanyikan di tempat mana hati semua orang dalam keadaan sunyi hati. Persisnya di tempat orang meninggal dunia. Dan satu lagi, Odong-Odong, yang dinyanyikan di tempat yang benar-benar sunyi. Di tengah hutan rimba raya, di mana penyanyinya berada di atas pohon kemenyan, menumpahkan semua kerinduan dan seluruh harapan yang mengalir di nadinya.
Jangan tanya bagaimana Tangis Milangi atau Odong-Odong itu ada. Dengan segala kekhasannya, dia sudah ada dan menjadi milik orang Pakpak secara turun temurun. Jangan pula tanyakan siapa penciptanya, sebab sejak dia muncul dengan patron yang konvensional, tidak ada yang mencatat nama penciptanya. Tapi, sebut saja dia ciptaan NN (No Name) sebagaimana lazimnya perlakukan kepada karya musik yang tidak diketahui nama penciptanya. Apalagi, yang pakem hanyalah lagunya, sementara liriknya selalu berubah-ubah, tergantung siapa yang menyanyikan dan perasaan apa yang berkecamuk di dalam hatinya saat itu.
TANGIS MILANGI
Tangis Milangi dapatkita dengar pada saat ada kemalangan (meninggal). Ketika seseorang meninggal dunia, ada pihak-pihak yang mempersembahkan Tangis Milangi itu sebagai komunikasi terakhir, sebelum jenazah dimakamkan. Biasanya, yang mempersembahkan tangis milangi itu adalah kaum perempuan, ibu-ibu. Durasi Tangis Milangi tidak ditentukan. Tergantung panjang pendeknya kehidupan dijalani orang yang meninggal dunia. Atau tergantung panjang pendeknya pengetahuan yang ber-Tangis Milangi tentang orang yang meninggal dunia.
Tangis Milangi dimasukkan ke dalam golongan nyanyian, karena Tangis Milangi itu memang dinyanyikan (tangisan yang memenuhi semua unsur yang dibutuhkan oleh nyanyian), dan sebagai cirri khasnya yang lain adalah, selalu dinyanyikan dengan nada minor.
Kepeken berngini rebbak deng kita kirana
Naing mangan pelleng nimu katemu
Ndor aku meddem asa ndungo siceggen
Asa giam ndor kubahan pengidoenmi
Nggo kessa cihur ceggen ari
Ndungo ko Pa, ninggu
Enggo ko keppe laus, Bapa
Uuuuuuuuu
Padahal tadi malam kita masih bersama ngobrol
Katamu ingin makan pelleng
Saya cepat tidur agar bangun pagi
Biar cepat saya kerjakan apa yang kau minta
Begitu pagi hari terang
Bangun, Pak, kataku
Ternyata engkau sudah pergi, Bapak
Uuuuuu (bagian ini disebut derru-derru/menangis jerit-jeritan)
Lirik di atas adalah salah satu yang dibuat secara bebas. Begitu bebasnya lirik Tangis Milangi itu, tanpa ada batasan apa-apa seperti juga durasinya. Bahkan, kadang-kadang sesuai yang rahasiapun disisipkan di sana, misalnya bicara tentang sesuatu yang belum terselesaikan dengan orang yang meninggal dunia (hutang piutang misalnya).
Tangis Milangi, sudah ada sejak dulu. Sehingga, bagi orang Pakpak, kematian tanpa ada Tangis Milangi, dianggap seperti sesuatu yang belum sempurna. Pilu mendengarnya, tapi kadang-kadang mendengar lirik yang dikarang pada saat itu juga, dalam hati bisa geli. Atau kita juga bisa geli, karena bisa mendadak yang tengah menangis milangi berhenti dan mengatakan kepada orang di sebelahnya, ¨Giliranmu sekarang!¨ Atau sebaliknya, ketika bagian Uuuuuuuu (meraung-raung), tiba-tiba saja dia pingsan.
ODONG-ODONG
Walaupun masyarakat Pakpak terkenal dengan kebun kopi, berkebun nilam, dan mencari getah kemenyan, dan tiga-tiganya berasa di tempat sepi, Odong-Odong lebih dikenal milik perkemenjen (pencari getah kemenyan) di hutan belantara. Sampai sekarang, perkemenjen masih terus melakukan pekerjaannya dengan pola dan cara yang sama. Seperti orang mau mergeraha (berperang), perkemenjen akan diberangkatkan oleh keluarga, dilengkapi dengan segala kebutuhan berhari-hari tinggal di hutan, termasuk perlengkapan ,perangnya, berupa golok, congkil (alat untuk mencongkel getah kemenyan).
Perkemenjen selalu laki-laki. Persoalannya, medan yang dihadapi selalu cukup ekstrem, masuk hutan sendirian atau berdua, yang tentu saja bisa tiba-tiba berhadapan bukan hanya cuaca, tapi segala sesuatu yang hidup di hutan, termasuk binatang buas. Setelah memasuki hutan belantara, biasanya mereka akan membuat semacam saung (dalam bahasa Pakpak disebut sapo-sapo/rumah-rumahan) tempat mereka menginap dan berteduh kalau hujan tiba-tiba turun. Tinggal di hutan bisa berhari-hari, bahkan bisa dalam hitungan minggu. Tergantung jumlah getah kemenyan yang dikumpulkan.
Bisa dibayangkan, sendirian, jauh dari keluarga, masak sendiri, tidur sendiri. Yang pasti temannya hanya ada satu: sunyi. Terutama saat perkemenjen memanjat pohon kemenyan di siang hari. Di bawah terik matahari perkemenjen berusaha agar getah kemenyan keluar dan mengental. Angin sepoi-sepoi, ada nyanyian burung dan desir angin meniup daun-daunan penambah rasa sunyi. Bayangan wajah anak dan istri tentu langsung menggelayut di benak. Saat itulah biasanya perkemenjem menumpahkan rasa sunyi dan semua harapannya ke dalam lagu yang disebut Odong-Odong.
Seperti juga Tangis Milangi, Odong-Odong tidak dibatasi durasi, tidak dibatasi lirik. Tergantung yang ber-Odong-Odong mau berhenti kapan, dan mau membuat liriknya seperti apa.
Otang kabang-kabang mi urang Julu ko lebbe manuk-manuk
Pesoh mo giam teddoh ni ate mendahi si buyung
I tengah rambah en ngo bapana merkemenjen
Giam burju-burju ia sikkola
Barang mi juma mendengani inangna
Odong-odong-odonggggggg (ditingkahi dengan legato yang meliuk-liuk)
Terbang ke urang Julu (ke daerah hulu) lah kau burung
Sampaikan rindu hati kepada si buyung (anak)
Bapaknya di tengah hutan mencari kemenyan
Mudah-mudahan dia baik-baik sekolah
Atau ke ladang menemani ibunya
Odong..odong..odong..
(contoh lirik bebas Odong-Odong)
Tangis Milangi maupun Odong-Odong adalah sebuah peninggalan nenek moyang orang Pakpak yang sesungguhnya tiada bertara. Yang berhubungan dengan jiwa, dan dibebaskan kepada jiwa siapa saja yang membawakannya. Bisa jadi, itu pula yang membuatnya terus lestari, sebab setiap saat bisa diaktualisasi, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan batin yang membawakannya.
*** penulis: Hans Miller Banureah
Umpamakan perjalanan Anda menuju tanah Dairi dan Pakpak Bharat itu untuk menghadiri jamuan makan, maka apa yang tersaji di perjalanan tadi adalah santapan selamat datang. Seterusnya, di tanah Dairi dan Pakpak Bharat, Anda akan disajikan berbagai ragam santapan utama. Salah satu pilihannya adalah musik. Seperti juga di tanah Batak lainnya, musik-musik tradisional yang akan ditemui bisa dipastikan tidak banyak berbeda. Namun, kalau masuk lebih jauh lagi, Anda akan tercengang dan dijamin menggeleng-gelengkan kepala, karena kagum pada apa yang Anda dengar dan saksikan.
Ada dua jenis nyanyian orang Pakpak yang tidak lazim terdengar. Disebut tidak lazim, karena kedua nyanyian itu hanya dikumandangkan di tempat yang sangat khusus. Dua-duanya dinyanyikan di tempat yang sunyi. Yang pertama disebut tangis milangi (tangis menghitung), dinyanyikan di tempat mana hati semua orang dalam keadaan sunyi hati. Persisnya di tempat orang meninggal dunia. Dan satu lagi, Odong-Odong, yang dinyanyikan di tempat yang benar-benar sunyi. Di tengah hutan rimba raya, di mana penyanyinya berada di atas pohon kemenyan, menumpahkan semua kerinduan dan seluruh harapan yang mengalir di nadinya.
Jangan tanya bagaimana Tangis Milangi atau Odong-Odong itu ada. Dengan segala kekhasannya, dia sudah ada dan menjadi milik orang Pakpak secara turun temurun. Jangan pula tanyakan siapa penciptanya, sebab sejak dia muncul dengan patron yang konvensional, tidak ada yang mencatat nama penciptanya. Tapi, sebut saja dia ciptaan NN (No Name) sebagaimana lazimnya perlakukan kepada karya musik yang tidak diketahui nama penciptanya. Apalagi, yang pakem hanyalah lagunya, sementara liriknya selalu berubah-ubah, tergantung siapa yang menyanyikan dan perasaan apa yang berkecamuk di dalam hatinya saat itu.
TANGIS MILANGI
Tangis Milangi dapatkita dengar pada saat ada kemalangan (meninggal). Ketika seseorang meninggal dunia, ada pihak-pihak yang mempersembahkan Tangis Milangi itu sebagai komunikasi terakhir, sebelum jenazah dimakamkan. Biasanya, yang mempersembahkan tangis milangi itu adalah kaum perempuan, ibu-ibu. Durasi Tangis Milangi tidak ditentukan. Tergantung panjang pendeknya kehidupan dijalani orang yang meninggal dunia. Atau tergantung panjang pendeknya pengetahuan yang ber-Tangis Milangi tentang orang yang meninggal dunia.
Tangis Milangi dimasukkan ke dalam golongan nyanyian, karena Tangis Milangi itu memang dinyanyikan (tangisan yang memenuhi semua unsur yang dibutuhkan oleh nyanyian), dan sebagai cirri khasnya yang lain adalah, selalu dinyanyikan dengan nada minor.
Kepeken berngini rebbak deng kita kirana
Naing mangan pelleng nimu katemu
Ndor aku meddem asa ndungo siceggen
Asa giam ndor kubahan pengidoenmi
Nggo kessa cihur ceggen ari
Ndungo ko Pa, ninggu
Enggo ko keppe laus, Bapa
Uuuuuuuuu
Padahal tadi malam kita masih bersama ngobrol
Katamu ingin makan pelleng
Saya cepat tidur agar bangun pagi
Biar cepat saya kerjakan apa yang kau minta
Begitu pagi hari terang
Bangun, Pak, kataku
Ternyata engkau sudah pergi, Bapak
Uuuuuu (bagian ini disebut derru-derru/menangis jerit-jeritan)
Lirik di atas adalah salah satu yang dibuat secara bebas. Begitu bebasnya lirik Tangis Milangi itu, tanpa ada batasan apa-apa seperti juga durasinya. Bahkan, kadang-kadang sesuai yang rahasiapun disisipkan di sana, misalnya bicara tentang sesuatu yang belum terselesaikan dengan orang yang meninggal dunia (hutang piutang misalnya).
Tangis Milangi, sudah ada sejak dulu. Sehingga, bagi orang Pakpak, kematian tanpa ada Tangis Milangi, dianggap seperti sesuatu yang belum sempurna. Pilu mendengarnya, tapi kadang-kadang mendengar lirik yang dikarang pada saat itu juga, dalam hati bisa geli. Atau kita juga bisa geli, karena bisa mendadak yang tengah menangis milangi berhenti dan mengatakan kepada orang di sebelahnya, ¨Giliranmu sekarang!¨ Atau sebaliknya, ketika bagian Uuuuuuuu (meraung-raung), tiba-tiba saja dia pingsan.
ODONG-ODONG
Walaupun masyarakat Pakpak terkenal dengan kebun kopi, berkebun nilam, dan mencari getah kemenyan, dan tiga-tiganya berasa di tempat sepi, Odong-Odong lebih dikenal milik perkemenjen (pencari getah kemenyan) di hutan belantara. Sampai sekarang, perkemenjen masih terus melakukan pekerjaannya dengan pola dan cara yang sama. Seperti orang mau mergeraha (berperang), perkemenjen akan diberangkatkan oleh keluarga, dilengkapi dengan segala kebutuhan berhari-hari tinggal di hutan, termasuk perlengkapan ,perangnya, berupa golok, congkil (alat untuk mencongkel getah kemenyan).
Perkemenjen selalu laki-laki. Persoalannya, medan yang dihadapi selalu cukup ekstrem, masuk hutan sendirian atau berdua, yang tentu saja bisa tiba-tiba berhadapan bukan hanya cuaca, tapi segala sesuatu yang hidup di hutan, termasuk binatang buas. Setelah memasuki hutan belantara, biasanya mereka akan membuat semacam saung (dalam bahasa Pakpak disebut sapo-sapo/rumah-rumahan) tempat mereka menginap dan berteduh kalau hujan tiba-tiba turun. Tinggal di hutan bisa berhari-hari, bahkan bisa dalam hitungan minggu. Tergantung jumlah getah kemenyan yang dikumpulkan.
Bisa dibayangkan, sendirian, jauh dari keluarga, masak sendiri, tidur sendiri. Yang pasti temannya hanya ada satu: sunyi. Terutama saat perkemenjen memanjat pohon kemenyan di siang hari. Di bawah terik matahari perkemenjen berusaha agar getah kemenyan keluar dan mengental. Angin sepoi-sepoi, ada nyanyian burung dan desir angin meniup daun-daunan penambah rasa sunyi. Bayangan wajah anak dan istri tentu langsung menggelayut di benak. Saat itulah biasanya perkemenjem menumpahkan rasa sunyi dan semua harapannya ke dalam lagu yang disebut Odong-Odong.
Seperti juga Tangis Milangi, Odong-Odong tidak dibatasi durasi, tidak dibatasi lirik. Tergantung yang ber-Odong-Odong mau berhenti kapan, dan mau membuat liriknya seperti apa.
Otang kabang-kabang mi urang Julu ko lebbe manuk-manuk
Pesoh mo giam teddoh ni ate mendahi si buyung
I tengah rambah en ngo bapana merkemenjen
Giam burju-burju ia sikkola
Barang mi juma mendengani inangna
Odong-odong-odonggggggg (ditingkahi dengan legato yang meliuk-liuk)
Terbang ke urang Julu (ke daerah hulu) lah kau burung
Sampaikan rindu hati kepada si buyung (anak)
Bapaknya di tengah hutan mencari kemenyan
Mudah-mudahan dia baik-baik sekolah
Atau ke ladang menemani ibunya
Odong..odong..odong..
(contoh lirik bebas Odong-Odong)
Tangis Milangi maupun Odong-Odong adalah sebuah peninggalan nenek moyang orang Pakpak yang sesungguhnya tiada bertara. Yang berhubungan dengan jiwa, dan dibebaskan kepada jiwa siapa saja yang membawakannya. Bisa jadi, itu pula yang membuatnya terus lestari, sebab setiap saat bisa diaktualisasi, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan batin yang membawakannya.
*** penulis: Hans Miller Banureah
1:29 AM | 0
comments | Read More