Pembaca pernah ke Taman Mini Indonesia Indah..? Atau mau berkunjung kesana..? Sempatkan menikmati kekayaan budaya nusantara seperti melihat jejeran rumah adat nusantara dari sabang sampai merauke.
Hari Minggu, 17 Oktober 2010 saya berkesampatan ke TMII sekedar untuk wisata membuang kepenatan. Saya kagum atas penataan yang menarik dan unik, taman yang dari namanya katanya "mini" ternyata menyimpan "kemegahan" terutama dengan mempertontonkan budaya Indonesia.
Saat kunjungan pertama ini ke TMII, sebagai putra Sumatera Utara, tujuan utama saya adalah mengunjungi "rumah saya" di paviliun Sumatera Utara". Alangkah terkejut bercampur sedih saat tiba disana. Bagaimana tidak, dari berbagai paviliun rumah adat mewakili Sumatera Utara, yang paling "menyedihkan" adalah Rumah Adat Pakpak sebagai rumah adat nenek moyangku.
Perasaan terkejut, sedih bercampur kasihan pada diri sendiri melihat keadaan rumah adat Pakpak ini seperti tak bertuan "miskin" inovasi. Sungguh kontras dengan rumah adat dari daerah lain yang ditata rapi dan menarik. Seperti dari Nias, Simalungun, Toba dan Melayu (Deli), mereka menunjukkan kreatifitas seperti penjaga stand yang siap sedia memberikan informasi budaya dan semua tentang daerah/sukunya, sekaligus menawarkan berbagai cendramata hasil kekayaan budaya daerahnya sebagai kenang-kenagan. Juga dengan mempertontonkan kesenian daerah berupa tari-tarian dan karya seni lainnya.
Namun untuk stand Pakpak, yang ada hanya bagunan rumah adat tak bertuan. Saat itu tidak ada penjaga stand. Rumah adat Pakpak kebanggaanku tutup terkunci rapat. Keadaannya memang tidak seperti yang saya bayangkan. Kolong rumah menjadi gudang penyimpanan tiang-tiang bekas diselimuti debu-debu. Halaman depan, belakang dan samping paviliun ditumbuhi rumput-rumput liar yang tumbuh subur.
Yang membuat kening berkerut adalah dari ukuran rumah adat Pakpak yang sangat kecil, jauh berbeda dengan rumah adat daerah lain disamping kiri kanan dan depannya. Sungguh kontras perbandingan ukurannya.Dari segi bahan yang digunakan juga tidak sepenuhnya menunjukkan keaslian rumah adat Pakpak. Seperti tangga yang terbuat dari semen bukan kayu, atap bukan terbuat dari ijuk, dan hiasan ornamen Pakpak pada bangunan dilukis yang seharusnya di ukir.
Satu lagi yang menjadi pertanyaan bagi saya dari nama rumah adat ini. Dari keterangan yang tertulis dalam prasasti pendirian yang ditandatangani Bupati Dairi Bpk. Dr.M.Tumanggor tanggal 27 April 2002, tertulis "Rumah Adat Pakpak Dairi (Sapo Jojong)". Apa tidak seharusnya tertulis hanya "Rumah Adat Pakpak..?"
Hal ini tentu bisa menjadi bahan salah penafsiran dan bahan pertanyaan bagi pengunjung yang ingin tau tentang Suku Pakpak. Tentu akan membingungkan tentang "Suku Pakpak" dengan "Suku Pakpak Dairi".
Hal ini tentu bisa menjadi bahan salah penafsiran dan bahan pertanyaan bagi pengunjung yang ingin tau tentang Suku Pakpak. Tentu akan membingungkan tentang "Suku Pakpak" dengan "Suku Pakpak Dairi".
Inilah penilaian saya sebagai pengunjung. Saya tidak tau apa latar belakang kejanggalan dan kekurangan-kekurangan tersebut. Apa memang seharusnya begitu?
Harapan kita, alangkah baiknya jika Rumah Adat ini diperhatikan, ditata dengan menarik, dirawat dan dijaga seperti yang dilakukan daerah/suku lain. Dan terpenting adalah rumah adat Pakpak dibuat sesuai dengan kondisi asli. Baik dari segi bahan, desain, dan sebagainya. Harus dilibatkan partua yang mengerti adat dan budaya Pakpak.
Penataan disemua lini perlu diperhatikan, ini penting karena rumah adat ini akan menjadi contoh mewakili Suku Pakpak, terutama dari sisi budayanya. Jika ini tetap dibiarkan, mau tidak mau saat berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), maka "Orang Pakpak Akan Malu Melihat Rumahnya Sendiri".
Siapa yang bertanggung jawab? Adalah kita semua suku Pakpak. Terutama Pemerintah sebagai perpanjangan tangan masyarakat Pakpak.
Njuah-Njuah.
0 comments:
Post a Comment